0

Jadilah Mangga Jangan Cemara

Suatu ketika, Imam Syibli sedang berada dalam sebuah kebun buah-buah yang luas. Seperti biasa ia memang gemar melakukan pengembaraan guna memperdalam rohaninya. Tiba-tiba telinganya mendengar suara memanggil-manggil namanya, "Imam Syibli, Imam Syibli."

Sang imam menghentikan langkahnya. Ia mencari dari mana datangnya sumber suara. Menoleh ke kiri dan ke kanan, tapi tidak menemukan seorang pun, kecuali puluhan batang-batang pohon menjulang ke langit. Sekali lagi suara itu datang. Imam Syibli merasa pemilik suara itu dekat sekali dengannya. Tapi siapa ya ?

"Aku disampingmu, Imam."

Oh, ternyata empunya suara itu bukan manusia maupun binatang, melainkan sebatang pohon mangga besar.

"Hai pohon mangga, ada apa kamu memanggil-manggil namaku? Apakah kamu hendak menanyakan sesuatu?" tanya Imam Syibli.

"Tidak Imam, justru aku ingin memberikan sesuatu pesan kepada Imam."

"Katakan, pesan apa?"

"Wahai Imam yang suka mengembara, jadilah orang mulia seperti aku." Ujar pohon mangga dengan tenang penuh keyakinan.

"Apa maksudmu?" Imam Syibli tampak kurang senang dengan khutbah pohon mangga itu.

"Begini maksudku: Aku adalah contoh yang memiliki sifat mulia. Jika aku dilempar dengan batu, maka aku akan membalasnya dengan buah-buahku yang manis dan lezat," jelas pohon mangga.

Imam Syibli menangguk mengerti. "Kamu memang mulia pohon mangga. Tetapi, sayang akhir hidup akan sangat menderita."
Ini kali pohon yang bingung. "Apa maksud Imam?"

"Jika kamu sudah tidak menghasilkan buah lagi, sudah tua, dan tidak berguna lagi, maka tubuhmu akan ditebang, daun-daunmu dirontokkan, ranting dan batangmu dijemur dipanas matahari, kemudian akan dibakar dengan api menjilat-jilat sebagai kayu bakar," ujar Imam panjang lebar.

Pohon mangga nampak sedih mendengar ucapan Imam Syibli.

"Itu adalah takdirku, Imam. Tapi aku malah bangga dengannya. Aku tidak bisa seperti pohon cemara, yang apabila ada angin bertiup ke barat, ia ikut ke barat, ada angin ke timur, ia akan ikut ke timur," terang pohon mangga dengan bijak.

"Jadi lebih baik mana, mengikuti kamu atau pohon cemara?" tanya Imam Syibli.

"Aku tidak bisa menentukan baik dan buruk seseorang. Pohon cemara bisa selamat dengan cara mengikuti arah angin. Tetapi ketika Ia kering dan roboh, ia akan terlantar begitu saja. Tidak ada lagi yang mau memanfaatkannya untuk kayu bakar, apalagi membuat arang. Sedangkan aku, bila tubuhku sudah tua, akhir hidupku akan berakhir dengan hormat. Orang akan mengambilku sebagai kayu bakar dan digunakan untuk memasak makanan yang lezat dan enak. Atau bisa juga aku dibuat menjadi arang yang bisa dijual dan mendapatkan uang. Bahkan kalau aku menjadi abu pun, aku akan tetap berguna, untuk menggosok peralatan dan barang-barang berharga sehingga bisa mengkilap dan bersih. Jadi kukira, lebih baik menjadi sepertiku daripada menjadi pohon cemara." jelas pohon mangga.

Imam Syibli mengangguk mendengar penuturan pohon mangga. Ini kali ia berguru kepada pohon mangga, bahwa lebih baik mati secara terhormat dan tetap dikenang karena kebaikannya, daripada hidup selamat tetapi dengan cara munafik, tidak punya pendirian, mengikuti arus angin ke mana bertiup.

sumber : Buku
Saikhul Hadi, CERMIN HATI : Kisah-Kisah Hikmah dan Keteladanan. Yogyakarta. 2005 : Cinta Pena.

0 comments:

Post a Comment

Leave your comment here..
Thanks for reading, i'll reply your comment as soon as possible. Thank you, enjoy reading !

Regards,
Kiki Agnia

Back to Top